Fast Fashion : 5 Fakta Mengejutkan Industri Fashion
Source : adweek.com |
"Fast fashion is not free. Someone somewhere is paying" -Lucy Siegle
Berapa banyak baju
ataupum aksesoris yang anda beli dalam satu tahun ini? Seberapa sering anda
menggunakannya? Serta sudah efisienkah kita menggunakan item fashion yang kita
miliki?
Pertanyaan tersebut
mungkin tampak tak sering ditanyakan, namun sadarkah kita bahwa ketidakmapuan
kita menggunakan setiap item fashion yang kita miliki secara bijak ternyata
memiliki beberapa konsekuensi yang luas baik bagi lingkungan maupun manusia.
Yuk simak 5 fakta fast fashion yang
perlu kita ketahui.
Apa
Itu Fast Fashion?
Mulai dikenal pada awal tahun 2000-an, fast fashion didefinisikan sebagai
sebuah pendekatan dalam pembuatan desain, kreasi hingga pemasaran mode pakaian
terkini yang cepat dengan biaya yang rendah. Sebagai contoh produsen retail fast
fashion yang kita kenal adalah H&M, Zara, dan Uniqlo dimana
brand ini mengambil inspirasi desain dan tampilan gaya dari rumah mode papan
atas dan mereproduksinya secara cepat dan dengan harga yang lebih terjangkau.
Bila dulu produk fashion menjadi
produk yang bersifat ‘eksklusif’ bagi sebagian kalangan saja dan membutuhkan
waktu produksi yang lebih lama kini kehadiran fast fashion mungkin menjadi angin segar bagi para penggila fashion karena dapat konsumen dapat
memperoleh mode pakaian terkini tanpa harus merogoh kantong secara dalam. Namun
begituh faktanya?
Fast Fashion Sebanding Dengan Kerusakan
Lingkungan dan Fashion Waste
Nyatanya trend fast fashion bagai pisau bermata dua. Beberapa lembaga survei
menunjukkan fast fashion menyebabkan
dampak yang berbahaya bagi lingkungan. Menurut laporan Sustain Your Style, industri pakaian menjadi produsen limbah
terbesar kedua setelah industri minyak dan gas alam. Dimana 10 persen emisi
karbon global dan sekitar 20 persen air limbah global dihasilkan oleh industri
pakaian saja, belum termasuk aksesoris seperti perhiasan, tas atau sepatu. Industri
fast fashion pada tahun 2015
menggunakan 80 milliar meter kubik air tawar atau setara ukuran 32.000 kolam
renang olimpiade, dimana diperkirakan untuk membuat 1 kaos katun saja
diperlukan 2.700 liter air atau setara dengan air minum yang diperlukan
seseorang selama 2,5 tahun. Ditambahkan industri fast fashion juga melepaskan setara 1,2 miliar ton CO2
per tahunnya. Polister sebagai salah satu jenis kain yang sering digunakan
dalam industri fashion juga memiliki
dampak buruk bagi lingkungan karena merupakan jenis kain yang berasal dari
bahan bakar fosil yang berkontribusi pada pemanasan global, selain itu serat
mikro dari polister akan mencemari air yang berarti juga untuk mudah dikonsumsi
oleh ikan dan aneka satwa air lainnya. Selain menyebabkan limbah produksi yang
berbahaya bagi lingkungkan, fast fashion
juga berbanding lurus dengan sampah fashion. Masih menurut Sustain Your Style, dibandingkan 20 tahun yang lalu, individu saat
ini membeli pakaian lima kali lebih sering namun hanya memakainya setengah
kali. Dimana pada tahun 2015, industri memproduksi sekitar 92 milliar ton
sampah dan diprediksi akan meningkat drastis menjadi 148 juta ton pada tahun
2030.
Fast Fashion Bukan Hanya Tentang Lingkungan
Selain membahayakan lingkungan, fast fashion juga erat dihubungkan
dengan kondisi kerja yang berbahaya. Untuk memotong biaya produksi, retailer fast fashion biasanya melakukan
kerjasama dengan berbagai pabrik garmen di negara dengan gaji buruh yang murah
seperti Bangladesh, China hingga Indonesia. Selain hanya memperoleh upah kerja
yang rendah, jam kerja yang panjang dan kondisi kerja yang tidak aman juga menghantui
para perkerja, belum lagi beberapa kondisi yang memperlihatkan masih adanya
pekerja dibawah umur. Saat ini diprediksi sekitar 40 juta orang bekerja di
industri fashion, dimana sekitar 85% adalah wanita. Kondisi kerja yang tidak
aman kemudian dihubungan dengan adanya peningkatan kekerasan baik mental, fisik
maupun seksual di masyarakat. Salah satu peristiwa yang menjadi perhatian dalam
keamanan pekerja di industri fashion
adalah peristiwa keruntuhan Rana Plaza pada tahun 2013 di Bangladesh. Dimana gedung
yang terdiri dari beberapa pabrik pakaian dan sejumlah toko ini runtuh dan
menyebabkan sekitar 1.100 pekerja meninggal dunia dan menjadi salah satu
tragedi industri terburuk di dunia. Hal ini menunjukkan dampak fast fashion yang begitu luas tidak hanya
bagi lingkungan namun juga bagi kesejahteraan umat manusia.
Fast Fashion di Indonesia
Seiring terciptanya ‘dunia tanpa batas’,
Indonesia kini juga menjadi pasar bagi retailer industri fast fashion. Kini retailer brand fast fashion telah hadir di berbagai kota besar di Indonesia.
Menurut Badan Ekonomi Kreatif, industri fashion
di Indonesia menjadi penyumbang kedua untuk ekonomi kreatif yaitu sebesar
18.01%. Hal ini sebanding dengan konsumsi fashion
masyarakat Indonesia, menurut survei Yougov pada tahun 2017 menunjukkan bahwa
sekitar 41% generasi millenial di Indonesia membeli setidaknya setengah dari
pakaian yang mereka miliki dalam 12 bulan terakhir. Sayangnya meningkatnya
tingkat konsumsi fashion juga
dibarengi dengan meningkatnya tren dikalangan millenial untuk membuang pakaian
lebih cepat daripada generasi yang lebih tua, masih menurut Yougov tiga dari
sepuluh individu dewasa di Indonesia atau sebesar 29% membuang satu item
pakaian mereka yang baru dikenakan sekali saja. Dimana seperlima generasi
millenial atau sebesar 21% mengaku membuang pakaian mereka karena telah merasa
bosan mengenakannya. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat bagaimana
sumber daya alam dan manusia yang telah ‘diperas’ untuk menghasilkan produk
tersebut, namun produk harus dibuang saat belum seluruh fungsinya dapat
dimanfaatkan.
Sustainable Fashion : Solusi Fast Fashion?
Dampak lingkungan dan
kemanusian dari fast fashion telah
menjadi perhatian banyak kalangan. Sehingga beberapa konsumen kini sudah mulai
memiliki kesadaran untuk lebih memilih membeli ‘ethical and sustainable brand’ dalam rangka mengurangi dampak
masif fast fashion. Sayangnya solusi tersebut masih menjadi
sebuah pilihan yang mahal bagi beberapa konsumen. Solusi menjual kembali, membeli
produk fashion bekas ataupun menyewa fashion item yang hanya digunakan
sesekali menjadi sebuah solusi yang lebih terjangkau dan paling sering
dilakukan. Sedangkan jika tetap akan membeli pakaian baru disarankan bagi
konsumen alangkah baiknya untuk membeli pakaian berdasarkan pertimbangan
kualitas, fungsi, keserbagunaan, serta kesesuain dengan lifestyle kita dibanding mengikuti tren ataupun tertipu diskon.
Menurut Greenpeace dengan menggandakan usia pakaian kita dari satu tahun
menjadi dua tahun akan mengurangi emisi selama satu tahun sebesar 24%. Sebuah
langkah kecil yang ternyata memiliki dampak besar bagi lingkungan. Sedangkan
menurut laporan Yougov tentang pelaksanaan suistainable
fashion di Indonesia, sekitar 60% responden mengatakan biasanya memberikan
pakaian yang sudah tidak diinginkan kepada teman/ keluarga ataupun badan amal
umum. Sedangkan 12% generasi millenial memiliki cara lain yaitu dengan menjual
pakaian yang sudah tidak diinginkan dan sekitar 18% generasi millenial lebih
memilih untu mendaur ulang item fashion
yang sudah tidak mereka ingginkan menjadi fashion
item yang baru. Banyak cara yang dilakukan untuk melawan laju fast fashion, apapun langkah yang
dilakukan mari kita mulai dengan langkah kecil, saat ini dan dari kita sendiri J
Setelah
mengetahui 5 fakta fast fashion tadi,
bagaimana pendapatmu? Masihkah akan rutin membeli baju baru ataukah akan mulai
diet fashion? Yuk bersama kita menerapkan
sustainable fashion untuk menciptakan
bumi tempat hidup yang baik bagi manusia, hewan maupun tumbuhan.
Tulisan ini sudah saya pernah publikasikan dengan judul 'Bernahkah Fast Fashion Murah dan Cepat? Ini Faktanya' di brilio.net pada 2 Februari 2020.
Sumber
:
Comments
Post a Comment