26 Januari 2020 : Hari Lepra Sedunia. Masihkah Penderita Lepra Terstigmatisasi?
Source : The Ponty Chadha Foundation |
Lepra dalam istilah medis dikenal
sebagai penyakit hansen, setelah peneliti berkebangsaan Norwegia, Gerhard
Henrik Armauer Hansen menemukan Mycobacterium
Leprae sebagai penyebab penyakit ini pada tahun 1873. Penyakit lepra atau
lebih dikenal masyarakat awam sebagai penyakit kusta menyerang kulit,
syaraf tepi, mukosa di saluran nafas
atas dan mata penderitanya. Gejala awal
lepra tidak selalu tampak jelas, namun tanda awal yang biasanya muncul adalah
timbulnya bercak putih seperti panu atau bercak merah yang beukuran sebesar
koin hingga selebar telapak tangan, selain itu penderita lepra akan menunjukkan
gejala :
§ Mati
rasa terhadap berbagai sensasi seperti perubahan
suhu hingga stimulus nyeri
§ Muncul
luka namun tidak terasa sakit
§ Muncul
lesi atau jaringan abnormal yang menebal pada kulit
§ Penurunan
kelemahan otot hingga kelumpuhan terutama pada otot kaki dan tangan
§ Hilangnya
alis dan bulu mata
§ Hilangnya
jari jemari
Source : The Leprosy Mission |
Lepra dikategorikan oleh WHO sebagai
salah satu penyakit tropis yang terabaikan (Negleted
Tropical Disease). Dikategorikan ‘terabaikan’ karena lepra menjadi salah
satu penyakit tropis yang umum terjadi pada populasi di negara berpengasilan
rendah dan negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika. Secara historis,
lepra juga menjadi penyakit yang belum mendapat perhatian sebanyak penyakit
lainnya.
Padahal jika menarik sebuah benang
historis, lepra telah menjadi salah
satu penyakit kuno yang dijelaskan
bahkan dalam literatur peradaban kuno di China, Mesir dan India. Sejarah paling
awal mengenai penyakit yang diyakini banyak ilmuan sebagai penyakit lepra
muncul dalam dokumen Papirus Mesir yang ditulis sekitar tahun 1550 SM. Selain
itu terdapat juga tulisan-tulisan India menggambarkan penyakit yang menyerupai lepra
sekitar tahun 600 SM. Di Eropa sendiri, lepra pertama kali muncul dalam catatan
Yunani Kuno setelah pasukan Alexander Agung kembali ke Roma dari India pada
tahun 62 SM.
Dahulu hingga saat ini lepra menjadi
penyakit paling berstigma di dunia. Dalam sejarah lepra dianggap sebagai
penyakit keturunan, kutukan ataupun hukuman dari Tuhan. Di Eropa selama Abad
Pertengahan, penderita lepra harus mengenakan pakaian khusus, membuyikan
lonceng untuk memperingatkan orang lain bahwa mereka ada disekitar mereka
hingga harus berjalan di sisi tertentu menyesuaikan arah angin. Bahkan hingga
setelah Gerhard Henrik Armauer Hansen menemukan Mycobacterium Leprae sebagai penyebab biologis penyakit ini,
penderita lepra masih terus distigmatisasi dan dijauhi. Saat ini penderita
lepra yang mengalami kecacatan di berbagai negara masih dijauhi, ditolak hak
asasi dasarnya dan mengalami
diskriminasi. Padahal stigma yang diberikan kepada lepra akan mempengaruhi
kondisi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi para penderitanya sehingga
berkontribusi terhadap kondisi kemiskinan pada daerah-daerah yang terdampak.
Perempuan dan wanita yang menderita penyakit ini biasanya juga harus
mengahadapi diskriminasi gender dan sosial yang menyebabkan keterlambatan dalam
penangganan yang meningkatkan resiko kecacatan.
Nyatanya, lepra merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan. Sehingga pendidikan kesehatan tentang lepra dan peningkatan akses
ke fasilitas kesehatan dianggap menjadi
kunci untuk mengurangi stigma terhadap penderita lepra. Hal ini yang menjadi
dasar bagi aktivis kemanusiaan asal Prancis Raoul Follereau, pada tahun 1954
memprakarsai Hari Lepra Sedunia yang diperingati setiap hari minggu terakhir di
bulan Januari setiap tahunnya. Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan
terhadap kematian Mahatma Gandhi yang selama hidupnya turut berusaha untuk
memperbaiki kesehatan para penderita lepra. Tujuan peringatan Hari Lepra
Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran global bahwa lepra merupakan
penyakit yang dapat dicegah, diobati dan disembuhkan.
Mycobacterium
Leprae sebagai penyebab penyakit lepra berkembang biak
secara perlahan dan memiliki masa intubasi rata-rata 5 tahun. Gejala lepra dapat muncul dalam waktu 1 tahun
namun juga dapat muncul dalam waktu 20 tahun ataupun lebih. Lepra ditularkan
melalui ‘droplet’ atau cairan dari hidung ataupun mulut penderita lepra yang
tidak menjalani pengobatan dan menyebar ke udara ketika penderita batuk ataupun
bersin yang kemudian dihirup orang lain.
Langkah pencegahan yang sangat penting
dilakukan adalah dengan tidak menciptakan tempat lembab di dalam rumah serta
memberikan akses sinar matahari masuk ke dalam
rumah mengingat bakteri Mycobacterium
Leprae dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari dan dapat
berkembang sangat pesat di suhu dingin. Selain itu menurut Kementerian
Kesehatan Indonesia, meskipun 95% manusia telah kebal terhadap penyakit lepra
namun masih terdapat 5% manusia yang dapat tertular yang dipengaruhi beberapa
faktor fisilogis seperti menopause, faktor infeksi hingga malnutrisi. Sehingga
memastikan asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh juga menjadi
penting mengingat semakin baik sistem kekebalan tubuh maka resiko tertular serta perkembangan
bakteri akan semakin kecil.
Hingga akhir 1940-an, para dokter
diseluruh dunia merawat pasien dengan menyuntikkan mintak kacang chaulmoogra.
Baru pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan kombinasi antibiotik obat
Dapson, Rifampisin dan Clofazimine sebagai terapi bagi penyakit lepra. Dengan
waktu pengobatan yang beragam tergantung
tingkat keparahan mulai 6-12 bulan. Dan sejak 1995 pemebrian terapi pada
penderita lepra diberikan secara gratis.
Lepra biasanya dialami oleh warga dari
negara dengan penghasilan rendah yang hidup dalam kondisi permukiman yang padat
serta memiliki kesulitan akses menuju sarana kesehatan baik karena jarak
ataupun masalah pembiayaan. Menurut laporan WHO terdapat 208.619 kasus lepra
baru yang terdaftar secara global padatahun 2018 dan diperkirakan 2 hingga 3
juta orang hidup dengan cacat akibat penyakit lepra secara global.Selain itu
menurut laporan WHO tahun 2016, India, Brasil dan Indonesia diikiuti beberapa
negara di Afrika menjadi negara dengan jumlah diagnosis lepra baru tertinggi.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan
Indonesia, secara nasional Indonesia telah berhasil mengeliminasi lepra dimana
pravalensi lepra pada tahun 2000. Namun hingga 2018 masih terdapat beberapa
wilayah di Indonesia yang belum mengeliminasi lepra. Artinya angka kejadian
kusta di wilayah tersebut masih lebih dari 1 per 10.000 penduduk. Wilayah yang
masih terdeteksi angka kejadian lepra yaitu Jawa bagian timur, Sulawesi,
PapuaBarat, Maluku dan Maluku Utara.
Kecacatan menjadi hal yang paling
ditakutkan dari penyakit lepra. Padahal seperti
yang sudah diketahui lepra merupakan penyakit yang dapat diobati dengan
total tanpa meninggalkan kecacatan selama dapat dideteksi dan dilakukan
pengobatan secara dini. Selain itu pengobatan pada penderita lepra menjadi
salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Sehingga sangat diperlukan
partisipasi aktif dari masyarakat untuk melaporkan kasus hingga kesediaan
datang berobat ke fasilitas-fasilitas kesehatan terdekat. Dalam hal ini
keluarga memiliki peran penting bagi untuk memberikan dukungan dan motivasi
untuk memulai pengobatan serta patuh menjalani pengobatan hingga tuntas.
Bagi kita masyarakat luas, setelah
mengetahui lebih tentang penyakit lepra diharapkan dapat mempelajari lebih
lanjut tentang lepra dan menyebarkan pengetahuan tersebut kepada teman,
keluarga hingga masyarakat luas tentang lepra yang dapat dicegah, diobati dan
disembuhkan sehingga tidak ada lagi stigma yang membelenggu para penderita
lepra.
Masihkah penderita lepra akan
terstigmatisasi?
Source :
Kementerian
Kesehatan RI. (2018). Infodatin : Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap
Kusta. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Comments
Post a Comment